11 Juli 2010, di hari ketika kabut enggan menutupi yang biru…
8 anak kecil berpipi merah, berusia sekitar 4-5 tahun dikirab dengan beberapa kereta kuda. Dipagari para abdi berpakaian Jawa yang mengawal kirab dari barisan pemangku adat di depan hingga para penari di belakang. Para penari yang terus menari selama mengelilingi kampung/ Ada penari Tek-tek yang menari diiringi angklung dan harmonisasi perkusi bambu, ada penari Rampag Yaksa dengan dandanan khas buto cakil yang menari diiringi gamelan Jawa maupun beberapa seniman barongsai yang beratraksi mengundang riuh tepuk tangan dari para penduduk dusun Dieng Kulon. Pagelaran seni budaya yang mengundang masyarakat luas untuk berkunjung di syahdunya hawa sejuk pegunungan Dieng.
Bintang, Ananda dan beberapa anak kecil lainnya duduk di pangkuan bunda maupun ayahandanya di atas kereta kuda. Kepala mereka diikat oleh sehelai kain berwarna putih bersih, namun tak menyembunyikan penampakan beberapai helai rambut gimbal di antara rambut-rambut yang masih bersih dan halus. Merekalah pusat perhatian dalam kirab kali ini. Dalam pikiran polosnya, mungkin mereka berpikir bahwa hari ini adalah hari liburan bagi mereka untuk mengelilingi Dieng dengan kereta kuda. Mereka akan menyadarinya beberapa tahun ke depan bahwa mereka adalah salah satu pembawa tradisi di Dieng, di mana budaya masih dilestarikan dengan cara yang santun.
Tak aneh bahwa apa yang tersaji di pelataran kompleks Candi Arjuna adalah sesuatu yang aneh bagi kita. Dan itu sesuai dengan beberapa permintaan si anak kecil yang harus dituruti oleh para orang tua. Sebagai syarat mutlak sebelum rambut gimbal mereka akan dipotong di depan candi lalu dilarung ke Telaga Warna. Ada 100 batang kepala ayam, lalu 1 bakul tempe gembus, 1 ekor kambing Etawa, beberapa ekor marmut dan lain sebagainya. Semuanya tersaji beserta banyak sekali ubo rampe yang digelar di samping candi. Ubo rampe yang diambil dan dimasak dari alam Dieng ini.
Menjelang tengah hari yang terik sejuk ketika upacara cukur rambut gimbal ini dimulai. Dipimpin oleh pemangku adat Dieng Kulon, Mbah Naryono yang dahulu juga pernah menjadi seorang anak gimbal yang diruwat. Beberapa pejabat pemerintahan juga hadir di situ. Anak-anak gimbal duduk dipangku orang tuanya di depan, menjadi pusat jepretan para jurnalis foto maupun media elektronik. Di sekeliling candi, ratusan orang berjejal di luar pagar betis manusia untuk mengikuti jalannya upacara. Perpaduan tradisi Jawa dan Islam membuka jalannya upacara sebelum pencukuran rambut gimbal.
Tibalah saat itu, ketika matahari tepat bersinar dari atas. Tanpa kabut yang menutupi seperti biasanya kabut yang menutupi lembah Dieng di siang hari. Dieng begitu cerah saat itu, dan pelataran kompleks Candi Arjuna menjadi pusat segala mata memandang. Satu persatu anak dipanggil beserta para pejabat yang mendapat kehormatan untuk mencukur si rambut gimbal. Pencukuran dilakukan di belakang candi. Si anak diapit dan dipayungi oleh 2 pasang punggawa pria dan wanita dengan pakaian Jawa. Punggawa pria mengenakan surjan dan blangkon, sedangkan para wanita memakai kemben dan didandani.
Keadaan yang sangat ramai, para fotografer berburu gambar. Beberapa anak gimbal tampak menangis sebelum dipotong rambutnya. Mungkin saja dia merasa ketakutan karena dikelilingi begitu banyak orang. Namun ada juga beberapa anak yang tampak tersenyum ceria, tak terpengaruh dengan ramainya suasana.
Karakteristik rambut gimbal anak-anak tersebut berbeda-beda. Ada yang beberapa helai tergulung gimbal di belakang, tertutupi oleh rambut-rambut halus di bagian luarnya. Ada juga yang menggumpal gimbal sangat tebal, seperti rambut kusam yang selama bertahun-tahun tak pernah dicuci. Sesuai kepercayaan Dieng, anak-anak ini selalu ditunggui jin dan pemotongan rambut gimbal ini akan mengusir jin keluar dari tubuhnya.Dengan begitu, segala “bala” atau kesialan akan hilang dan rezeki akan datang. Lalu kenapa masyarakat harus menjalankan ritual sebelum pencukuran ini? Mereka percaya bahwa ritual itu sendiri diselenggarakan agar si anak dapat terbebas dari segala penyakit setelah pencukuran rambut gimbal ini.
Pencukuran 8 anak ini berlangsung selama kurang lebih 45 menit. Selepas itu adalah penyerahan segala permintaan kepada si anak. Tampak lucu juga melihat tangan-tangan mereka menggenggam segala jenis makanan yang menjadi permintaan mereka. Sementara para fotografer tak henti-hentinya berkeluyuran di sekitar mereka. Para abdi yang mengikuti upacara ini selanjutanya akan melarungkan potongan-potongan rambut tersebut ke Telaga Warna, di mana air akan mengalir ke Sungai Serayu yag berhilir ke Samudra Hindia. Sebagai wujud untuk mengembalikan segala kesialan yang telah dibawa si anak kepada para dewa.
Tari-tarian kembali beratraksi dipandu dengan harmonisasi perkusi dan gamelan, di panggung utama Dieng Culture Festival. Pusat perhatian masyarakat beralih ke sini. Setiap daerah di Dieng menampilkan atraksi seninya. Ada Warog, Lengger, Tek-tek, Rampag Yaksa, Barongsai dan lain sebagainya. Beberapa aransemen musik modern dipadukan dengan harmoni Jawa. Terdengar melodi “The Godfather Waltz” gubahan Nino Rota disusun nada-nadanya oleh dentingan angklung dan perkusi bambu yang dimainkan oleh belasan seniman “Tek-tek”. Lalu atraksi dari para “buto cakil” yang berguling-guling mengikuti irama gamelan yang dimainkan oleh para seniman “Rampag Yaksa”.
Dieng tetap sejuk, dan menyambut tamu-tamunya dengan kearifan masyarakat, kecantikan alam, seni dan budayanya.
~ jarody hestu
Dieng Culture Festival, 10-11 Juli 2010
0 komentar:
Posting Komentar